Apakah Aku Sudah Terlambat? (part 1)
Cahaya matahari yang masuk disela sela jendela rumah sakit memaksaku untuk membuka mata dengan berat hati. Kulihat wanita itu duduk tertidur disamping ranjangku dengan lelapnya. Wajahnya yang mulai berkeriput itu terlihat sangat lelah. Aku mencoba untuk mengingat apa yang terjadi semalam. Seingatku, aku mabuk saat mengendarai mobil Jazz Hitam yang dibelikan oleh ayah Desember lalu. Aku menghantam tiang lampu saat aku mengendarai di jalan tol tadi malam. Kurasakan kepalaku mulai sakit mengingat kejadian selanjutnya. Aku tidak dapat mengingat apapun.
Wanita itu mulai terjaga dari tidurnya. Sesaat aku merasakan gerakan tangannya, namun aku memilih untuk berpura pura tidur. Aku sudah sangat lelah mendengar ocehannya. Dia terbangun dan membelai kepalaku perlahan. Kulihat air mata membasahi wajahnya yang sayu. “Mamah nggak ngerti kenapa kamu sekarang berubah. Apasih mau kamu Sya? Kamu tau kan mamah udah nggak bisa ngejagain kamu kayak dulu lagi..,” Wanita yang kupanggil Mamah itu terlihat sangat pasrah akan keadaan yang menimpanya saat ini.
Hubungan kedua orangtuaku sudah hancur berantakan. Ayahku, Marcell Cahya Dewantara, seorang pengusaha muda dengan badan atletis dan tampan. Bukan hal yang sulit untuk memikat gadis manapun yang Ia mau. Ayahku bukan sosok pria yang mudah berpaling, ayahku adalah orang yang sangat berprinsip. Namun, pupus sudah semua kekagumanku pada ayah. Sosok yang sangat kubanggakan itu, kini telah menyakiti hati ibuku. Ayahku memilih untuk tinggal bersama kekasih barunya, yaitu sekretarisnya sendiri. Awalnya Ibuku tidak mempercayai hal ini. Lantas ibu menyewa jasa mata-mata terkenal. Dan ternyata semua rumor yang beredar itu benar. Ibuku, Cecilia Ayu Raharja, adalah sosok wanita yang cantik, bahkan sangat cantik. Dulu sewaktu muda, ibu menjadi primadona di tempat tinggalnya di Jepang. Dan hingga saat ini, ibu masih saja terlihat cantik. Kecantikannya tidak termakan oleh usia. Aku tahu, ibu sangat merawat dirinya, apalagi ibu adalah sosok wanita karir yang harus selalu tampil cantik dan berwibawa, terlebih saat beliau harus bertemu dengan kolega-kolega bisnisnya. Sudah bukan hal yang mustahil semua ini membutuhkan biaya yang besar. Untuk keluarga kami, uang bukan masalah. Berapapun biaya yang diperlukan, ibu sanggup untuk membayarnya.
Kekecewaan ibu semakin menjadi-jadi saat mengetahui bahwa ayah akan menikah dengan sekretarisnya itu. Ibu dan aku memergoki ayah yang dengan mesranya memberikan cincin kepada sekretaris kesayangannya saat makan siang. Aku tahu ibu sangat marah saat itu. Namun, ibu bukanlah tipikal wanita yang dapat meledakan emosinya dimana saja. Ibuku memilih untuk diam dan berbalik. Dengan bergegas, aku mengambil hidangan sup yang ada di meja di sebelahku. Dengan segera kulemparkan sup itu diwajah sekretaris ayahku. Setelah dirasa cukup, aku segera berlari mengejar Ibuku dan mengantarnya pulang. Kuabaikan suara ayah yang memanggil namaku dengan emosi. Bodo amat, pikirku saat itu. Setelah kejadian itu, ayah tak pernah pulang kerumah. Yang aku tahu, ibu dan ayah sedang mengurus perceraian mereka. Setiap malam kudengar ibu menangis. Aku tahu betapa ibu sangat mencintai ayah.
Saat aku masih berpura pura tidur, kudengar langkah kaki seseorang memasuki ruangan yang aku tempati. Aku mencoba untuk mengintip melalu celah kecil di mataku. Sosok pria Belanda dengan perawakan tinggi menyentuh bahu ibuku dan mengajak ibuku untuk makan siang. Paman James, adik ibuku yang tinggal di Belanda itu dengan segera terbang ke Indonesia mendengar berita kecelakaan yang aku alami. Sebenarnya, keluarga ibuku adalah keluarga asli Belanda, namun ibuku memilih untuk belajar di Jepang. Setelah bertemu dengan ayah di Jakarta, ibu dan ayah memilih untuk bertempat tinggal di Jakarta. Sedangkan paman James memilih untuk tetap tinggal di Belanda bersama nenekku, dan adik perempuan ibu yang biasa kusapa aunty Marry memilih untuk tinggal di Paris bersama suaminya.
Setelah mendengar pintu tertutup, aku kembali membuka mataku dan berusaha untuk duduk. Sial, aku masih merasakan mabuk akibat bir yang kuminum semalam, umpatku dalam hati. Segera kupaksakan diri untuk segera kabur dari ruangan ini. Dari kecil, aku paling benci dengan rumah sakit. Kulepaskan infus yang masih menempel di tangan kiriku dan dengan segera kuambil kunci mobil yang berada disamping ranjangku beserta handphone dan dompet milikku. Kuhiraukan darah yang menetes dari bekas infus ditanganku. Dengan diiringi tatapan aneh dari orang orang dilorong rumah sakit, aku segera berlari ke arah mobil ibuku. Kuseka darah di tanganku dengan sapu tangan yang ada dimobil Ibu. Paman pasti akan mengantar Ibu, kataku pada diriku sendiri. Dengan segera kulajukan mobil kearah rumahku. Aku memiliki rumah pribadi di Jakarta. Awalnya, sepulang dari Sidney, aku ingin membantu Ibu di Jakarta untuk melanjutkan bisnis ibu.
Didepan gerbang rumahku yang berwarna putih, dua orang satpam dengan segera membuka pintu gerbang. Kumasukkan mobilku kedalam dan langsung saja aku beranjak menaiki tangga dan menuju ke lantai dua, tempat dimana kamarku berada. Kuambil plester dikotak P3K dan membalut bekas infusku. Kudengar handphoneku berbunyi untuk kesekian kalinya dan memunculkan gambar ibuku pada layar. Kuhiraukan panggilan handphoneku dan segera mandi. Aku sudah gerah dengan bau rumah sakit.
“Kapan sih kamu kapok Sya?,” terdengar suara khas Radit, sepupuku yang berasal dari Jerman.
“Kapok? Perlu ya?,” jawabku asal.
“Gimana sih, kasian mamah kamu, capek kali ngurusin kamu doang! Tadi tuh tante telepon aku, aku udah bilang kalo kamu udah pulang. Kabur lagi ya?,” Kata Radit menasehati.
“Yoi. Abis ini aku mau langsung cabut ke Bali. Mau refreshing. Mau ikut?,” tanyaku.
“Rasya Pratama Dewantara! Sampai kapan sih kamu mau terus main-main kayak gini? Kamu tuh udah gede!,” kata Radit.
“Kayak ga pernah muda aja sih Dit,” Jawabku.
“Eh enak aja! Awas ya!,” kata Radit.
Setelah mandi, langsung saja aku mengambil spagetti yang tersedia dimeja. Pasti buatan Radit, kataku dalam hati. Dengan celemek ditubuhnya, Radit segera saja keluar dari dapur dan menjewer telingaku.
“Aaaaaaaaw! Sakit Dit!,” kataku.
“Makanya kalo dibilangin sama kakak tuh yang nurut!,” kata Radit.
Radit memang kakak sepupuku. Berbeda denganku, Radit yang seperti ayahnya, pengusaha muda di Jakarta, tidak lagi bertingkah kekanak-kanakan. Radit lebih berwibawa, dan tidak pernah mengeluh. Radit juga pintar memasak. Radit memilih untuk tinggal bersamaku, karena menurut Radit, lebih nyaman untuk tinggal bersamaku daripada bersama ayahnya yang terkenal cerewet itu. Lagipula aku tidak merasa keberatan, apalagi untuk tinggal dengan Radit yang suka memasak dan selalu mengingatkanku untuk makan siang, karena aku memang terlalu malas untuk makan diluar ataupun memesan makanan sendiri.
“Aku langsung aja ya Kak, makasih spagettinya!,” kataku berpamitan pada Radit.
“Ya udah, hati hati ya, jangan lupa nelpon kalo udah sampai di Bali!,” Kata Radit.
“Sip Bos!,” kataku.
Walaupun sudah 2 tahun tinggal di Jakarta, aku masih enggan untuk menggunakan ‘gue-elo’ pada keluargaku, terutama Radit. Tanpa ba-bi-bu segera saja kuarahkan mobilku ke arah bar yang berada cukup terpelosok dan cukup jauh dari rumahku. Aku sudah memesan beberapa gram barang haram disana. Ya, narkoba. Sudah dua bulan aku mengkonsumsi barang maksiat itu. Tepatnya setelah terjadi keretakan diantara keluargaku. Aku memang memiliki cukup materi dan finansial, namun untuk segi mental, aku belum memiliki mental yang cukup tangguh. Segera saja kuambil pesananku dibar itu, dua gram shabu-shabu. Aku tau apa yang kulakukan. Aku tau aku telah berdosa, dan bisa saja secara tiba tiba Tuhan merenggut nyawaku. Namun aku terlalu lemah, terlalu depresi untuk memikirkan hal-hal yang ada di hidupku. Harta yang kumiliki tidak dapat memenuhi apa yang aku inginkan. Aku membutuhkan kasih sayang dari orangtuaku.
Tobe continue
Wanita itu mulai terjaga dari tidurnya. Sesaat aku merasakan gerakan tangannya, namun aku memilih untuk berpura pura tidur. Aku sudah sangat lelah mendengar ocehannya. Dia terbangun dan membelai kepalaku perlahan. Kulihat air mata membasahi wajahnya yang sayu. “Mamah nggak ngerti kenapa kamu sekarang berubah. Apasih mau kamu Sya? Kamu tau kan mamah udah nggak bisa ngejagain kamu kayak dulu lagi..,” Wanita yang kupanggil Mamah itu terlihat sangat pasrah akan keadaan yang menimpanya saat ini.
Hubungan kedua orangtuaku sudah hancur berantakan. Ayahku, Marcell Cahya Dewantara, seorang pengusaha muda dengan badan atletis dan tampan. Bukan hal yang sulit untuk memikat gadis manapun yang Ia mau. Ayahku bukan sosok pria yang mudah berpaling, ayahku adalah orang yang sangat berprinsip. Namun, pupus sudah semua kekagumanku pada ayah. Sosok yang sangat kubanggakan itu, kini telah menyakiti hati ibuku. Ayahku memilih untuk tinggal bersama kekasih barunya, yaitu sekretarisnya sendiri. Awalnya Ibuku tidak mempercayai hal ini. Lantas ibu menyewa jasa mata-mata terkenal. Dan ternyata semua rumor yang beredar itu benar. Ibuku, Cecilia Ayu Raharja, adalah sosok wanita yang cantik, bahkan sangat cantik. Dulu sewaktu muda, ibu menjadi primadona di tempat tinggalnya di Jepang. Dan hingga saat ini, ibu masih saja terlihat cantik. Kecantikannya tidak termakan oleh usia. Aku tahu, ibu sangat merawat dirinya, apalagi ibu adalah sosok wanita karir yang harus selalu tampil cantik dan berwibawa, terlebih saat beliau harus bertemu dengan kolega-kolega bisnisnya. Sudah bukan hal yang mustahil semua ini membutuhkan biaya yang besar. Untuk keluarga kami, uang bukan masalah. Berapapun biaya yang diperlukan, ibu sanggup untuk membayarnya.
Kekecewaan ibu semakin menjadi-jadi saat mengetahui bahwa ayah akan menikah dengan sekretarisnya itu. Ibu dan aku memergoki ayah yang dengan mesranya memberikan cincin kepada sekretaris kesayangannya saat makan siang. Aku tahu ibu sangat marah saat itu. Namun, ibu bukanlah tipikal wanita yang dapat meledakan emosinya dimana saja. Ibuku memilih untuk diam dan berbalik. Dengan bergegas, aku mengambil hidangan sup yang ada di meja di sebelahku. Dengan segera kulemparkan sup itu diwajah sekretaris ayahku. Setelah dirasa cukup, aku segera berlari mengejar Ibuku dan mengantarnya pulang. Kuabaikan suara ayah yang memanggil namaku dengan emosi. Bodo amat, pikirku saat itu. Setelah kejadian itu, ayah tak pernah pulang kerumah. Yang aku tahu, ibu dan ayah sedang mengurus perceraian mereka. Setiap malam kudengar ibu menangis. Aku tahu betapa ibu sangat mencintai ayah.
Saat aku masih berpura pura tidur, kudengar langkah kaki seseorang memasuki ruangan yang aku tempati. Aku mencoba untuk mengintip melalu celah kecil di mataku. Sosok pria Belanda dengan perawakan tinggi menyentuh bahu ibuku dan mengajak ibuku untuk makan siang. Paman James, adik ibuku yang tinggal di Belanda itu dengan segera terbang ke Indonesia mendengar berita kecelakaan yang aku alami. Sebenarnya, keluarga ibuku adalah keluarga asli Belanda, namun ibuku memilih untuk belajar di Jepang. Setelah bertemu dengan ayah di Jakarta, ibu dan ayah memilih untuk bertempat tinggal di Jakarta. Sedangkan paman James memilih untuk tetap tinggal di Belanda bersama nenekku, dan adik perempuan ibu yang biasa kusapa aunty Marry memilih untuk tinggal di Paris bersama suaminya.
Setelah mendengar pintu tertutup, aku kembali membuka mataku dan berusaha untuk duduk. Sial, aku masih merasakan mabuk akibat bir yang kuminum semalam, umpatku dalam hati. Segera kupaksakan diri untuk segera kabur dari ruangan ini. Dari kecil, aku paling benci dengan rumah sakit. Kulepaskan infus yang masih menempel di tangan kiriku dan dengan segera kuambil kunci mobil yang berada disamping ranjangku beserta handphone dan dompet milikku. Kuhiraukan darah yang menetes dari bekas infus ditanganku. Dengan diiringi tatapan aneh dari orang orang dilorong rumah sakit, aku segera berlari ke arah mobil ibuku. Kuseka darah di tanganku dengan sapu tangan yang ada dimobil Ibu. Paman pasti akan mengantar Ibu, kataku pada diriku sendiri. Dengan segera kulajukan mobil kearah rumahku. Aku memiliki rumah pribadi di Jakarta. Awalnya, sepulang dari Sidney, aku ingin membantu Ibu di Jakarta untuk melanjutkan bisnis ibu.
Didepan gerbang rumahku yang berwarna putih, dua orang satpam dengan segera membuka pintu gerbang. Kumasukkan mobilku kedalam dan langsung saja aku beranjak menaiki tangga dan menuju ke lantai dua, tempat dimana kamarku berada. Kuambil plester dikotak P3K dan membalut bekas infusku. Kudengar handphoneku berbunyi untuk kesekian kalinya dan memunculkan gambar ibuku pada layar. Kuhiraukan panggilan handphoneku dan segera mandi. Aku sudah gerah dengan bau rumah sakit.
“Kapan sih kamu kapok Sya?,” terdengar suara khas Radit, sepupuku yang berasal dari Jerman.
“Kapok? Perlu ya?,” jawabku asal.
“Gimana sih, kasian mamah kamu, capek kali ngurusin kamu doang! Tadi tuh tante telepon aku, aku udah bilang kalo kamu udah pulang. Kabur lagi ya?,” Kata Radit menasehati.
“Yoi. Abis ini aku mau langsung cabut ke Bali. Mau refreshing. Mau ikut?,” tanyaku.
“Rasya Pratama Dewantara! Sampai kapan sih kamu mau terus main-main kayak gini? Kamu tuh udah gede!,” kata Radit.
“Kayak ga pernah muda aja sih Dit,” Jawabku.
“Eh enak aja! Awas ya!,” kata Radit.
Setelah mandi, langsung saja aku mengambil spagetti yang tersedia dimeja. Pasti buatan Radit, kataku dalam hati. Dengan celemek ditubuhnya, Radit segera saja keluar dari dapur dan menjewer telingaku.
“Aaaaaaaaw! Sakit Dit!,” kataku.
“Makanya kalo dibilangin sama kakak tuh yang nurut!,” kata Radit.
Radit memang kakak sepupuku. Berbeda denganku, Radit yang seperti ayahnya, pengusaha muda di Jakarta, tidak lagi bertingkah kekanak-kanakan. Radit lebih berwibawa, dan tidak pernah mengeluh. Radit juga pintar memasak. Radit memilih untuk tinggal bersamaku, karena menurut Radit, lebih nyaman untuk tinggal bersamaku daripada bersama ayahnya yang terkenal cerewet itu. Lagipula aku tidak merasa keberatan, apalagi untuk tinggal dengan Radit yang suka memasak dan selalu mengingatkanku untuk makan siang, karena aku memang terlalu malas untuk makan diluar ataupun memesan makanan sendiri.
“Aku langsung aja ya Kak, makasih spagettinya!,” kataku berpamitan pada Radit.
“Ya udah, hati hati ya, jangan lupa nelpon kalo udah sampai di Bali!,” Kata Radit.
“Sip Bos!,” kataku.
Walaupun sudah 2 tahun tinggal di Jakarta, aku masih enggan untuk menggunakan ‘gue-elo’ pada keluargaku, terutama Radit. Tanpa ba-bi-bu segera saja kuarahkan mobilku ke arah bar yang berada cukup terpelosok dan cukup jauh dari rumahku. Aku sudah memesan beberapa gram barang haram disana. Ya, narkoba. Sudah dua bulan aku mengkonsumsi barang maksiat itu. Tepatnya setelah terjadi keretakan diantara keluargaku. Aku memang memiliki cukup materi dan finansial, namun untuk segi mental, aku belum memiliki mental yang cukup tangguh. Segera saja kuambil pesananku dibar itu, dua gram shabu-shabu. Aku tau apa yang kulakukan. Aku tau aku telah berdosa, dan bisa saja secara tiba tiba Tuhan merenggut nyawaku. Namun aku terlalu lemah, terlalu depresi untuk memikirkan hal-hal yang ada di hidupku. Harta yang kumiliki tidak dapat memenuhi apa yang aku inginkan. Aku membutuhkan kasih sayang dari orangtuaku.
Tobe continue

Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment
Always need you comment here :')