Apakah Aku Sudah Terlambat? (part 3)
Janet, gadis manis dengan tahi lalat di pipi kananya, rambut sebahu dan mata khas Indonesia yang belo, namun berperawakan tinggi seperti orangtuanya yang asli Australia. Dari dulu, aku dan Janet sudah seperti kakak adik, selalu saja bersama. Jika Janet sedang malas belajar, aku yang mengingatkannya, begitu pula sebaliknya. Bahkan orangtua kami sudah sama sama saling mengenal, dan menganggap kami ini bersaudara. Dua Tahun kemarin, tepatnya setelah aku menyelesaikan pendidikanku di Sidney, Janet langsung saja berangkat ke Inggris untuk melanjutkan pendidikannya disana. Setelah perpisahan itu, aku dan Janet mulai kehilangan kontak, walaupun di jaman modern seperti sekarang alat komunikasi sudah canggih. Lagipula, aku tau betapa sibuknya menjadi mahasiswa asing di negeri orang. Atau dalam kasus ini, mahasiswi.
“Kapan kau kembali ke Indonesia? Kenapa ke Bali? Kenapa tidak tinggal bersama abangmu ini? Aku kan bisa menjemputmu dibandara..,” Aku memberikan pertanyaan beruntun untuk Janet.
“Kapan kujawab kalau kau terus mengoceh? Untuk pertanyaan pertama, aku kembali baru satu minggu yang lalu. Pertanyaan kedua, aku ke Bali karena aku sudah bosan dengan keadaan sumpek Jakarta. Untuk pertanyaan selanjutnya, aku mau memberimu kejutan. Jelas Bang?,” jawab Janet.
“Hah kau ini, lalu apa ini kejutan? Kita bertemu ditempat yang indah, namun pengalaman yang kualami sama sekali tidak indah. Abang macam apa aku ini, tampak begitu lemah didepan adikku sendiri, dipukuli tanpa perlawanan. Memalukan..,” kataku.
“Kau kan selalu memalukan bang, haha..” canda Janet.
“Dasar kau!! Aduh!,” badanku terasa sangat sakit untuk digerakkan.
“Sudahlah bang. Besok kuantar kau kembali ke hotel, santai saja dulu disini.” Kata Janet sambil memapahku yang berusaha untuk duduk.
Keesokan harinya, dengan perban dikepalaku dan dibantu oleh Janet, aku kembali ke hotel tempat aku menginap. Setelah itu Janet mengajakku untuk berjalan-jalan disekitar pantai. Aku menceritakan pada Janet tentang masalah yang kualami, perceraian orang tuaku, dan juga masalah narkoba yang masih ada di hidupku. Dari raut wajahnya, Janet terlihat kecewa dengan apa yang aku lakukan. Aku tidak heran. Lagipula, mana mungkin ada adik yang bangga dengan keadaan kakaknya yang seorang pecandu?
Hari ini Janet akan membawaku ke sanggar tari miliknya. Ternyata, selama dia berada di Inggris, kementrian disana meminta Janet, yang tercatat sebagai mahasiswi Indonesia untuk mempertunjukkan tari tradisional Bali. Janet terpilih menjadi lulusan terbaik di universitasnya dan kementrian memberikan gelar khusus untuk Janet. Janet juga diberi kewenangan untuk menjadi pelatih tari Indonesia disana dengan bayaran yang tak sedikit. Namun Janet meminta waktu untuk menambah ilmunya tentang tari Indonesia, tari Bali khususnya, di pulau Dewata ini.
Kulihat beberapa gadis Bali dengan pakaian tradisionalnya sedang berlatih bersungguh-sungguh. Merupakan pemandangan yang menarik untuk melihat mereka berlatih memainkan mata, pinggul dan tangannya supaya dapat menghasilkan tarian yang baik. Janet membuyarkan lamunanku, ia meminta ijin padaku bahwa ia ingin memberi beberapa tugas kepada pegawainya. Setelah itu, Janet segera membawaku ke suatu tempat. Dia tidak memberitahuku kemana ia akan membawaku. Bagai terhipnotis, aku mengikuti ajakannya dengan patuh.
Beberapa menit kemudian, mobil Avanza milik Janet memasuki daerah yang cukup tenang, dan cukup terpencil. Kulihat ada beberapa orang berpakaian perawat. Apa ini rumah sakit? Dimana ini? Aku hanya bertanya dalam hati. Keraguanku terjawab saat Janet mengajakku turun dan memasuki tempat itu.
“Ayo bang, turun cepat. Tidak apa,” Kata Janet memberi komando.
“Dimana nih Net? Rumah sakit??,” tanyaku.
“Sudah bang, mari ikut!,” jawab Janet sambil menarik lenganku.
Terlihat beberapa orang berpakaian perawat sedang membawa beberapa jarum suntik dan juga air. Kulihat Janet mengajakku menghampiri tempat resepsionis.
“Maaf, tempat rehab untuk pemakai dimana ya?,” tanya Janet sopan.
Kini pertanyaan di otakku mulai terjawab. Ternyata Janet membawaku ke tempat rehabilitasi. Dengan segera aku menarik tangan Janet untuk keluar menjauhi tempat resepsionis itu. Tapi Janet tetap memegang tanganku dengan erat. Aku diam saja melihat reaksi Janet. Heran, sepertinya dulu aku yang selalu menarikknya dan mengandengnya. Setelah dirasa cukup dengan beberapa pertanyaan yang tentu saja aku abaikan, Janet mengajakku untuk berjalan mengitari sebuah lorong tempat rehabilitasi yang mirip rumah sakit itu. Baunya pun sama dengan rumah sakit, pikirku.
“Nah, Bang, lihat ruangan itu.” Janet menunjuk salah satu ruangan disana.
Kulihat beberapa orang berpakaian rumah sakit dan beberapa perawat. Semua pasien itu terlihat pucat, kurus dan tak bertenaga. Para perawat memberikan mereka minum dan juga obat.
“Kenapa kau suruh abang lihat itu?,” kataku dengan tampang tidak peduli.
“Abang lihat, mereka pecandu juga,tapi masih tahap awal,” Jelas Janet.
“Oh,” jawabku masih tak peduli.
Janet hanya diam mendengar reaksiku yang tidak begitu peduli dengan penjelasannya. Aku merasa ia sudah mulai menguruiku. Namun karena begitu sayang aku padanya, aku memilih untuk menghargainya dan diam saja.
“Bang, liat tuh,” ucap Janet kemudian.
Mataku terarah pada ruangan yang ditunjuk oleh Janet. Masih sama seperti tadi, namun diruangan ini terlihat lebih banyak perawat dan ruangan bertambah liar. Aku lihat darah berceceran dilantai, ada beberapa perawat dan juga dokter kali ini. Para perawat memegang tangan pasien dan dokter berusaha menyuntikkan sesuatu.
“Bang, kalo yang ini, ruangan tempat pecandu yang lebih berat dari yang tadi. Kalo yang tadi itu junior, ini sedikit senior diatasnya,” Jelas Janet.
Aku sedikit bergidik melihatnya. Perawat-perawat itu nampak sudah biasa dengan semua ini. Kuliat pasien-pasien disana tampak lebih liar dari sebelumnya. Ada pula beberapa pasien yang terlihat menggigil, ada yang tampak sangat pucat dengan darah ditangannya yang sudah mulai mengering, ada pula yang kejang-kejang. Namun mereka semua ditangani oleh perawat dan dokter-dokter yang lain. Aku tidak merespon kata-kata Janet. Janet yang melihatku bungkam, memegang tanganku dan mengajakku melihat-lihat ruangan lain. Kulihat sosok wanita mendekati kami. Wajahnya nampak cantik, dan tidak asing. Ternyata perkiraanku benar, aunty Marry. Aunty Marry menatapku dan langsung memelukku.
“Rasya! Wah, kamu kesini juga ya? Ngapain? Mau jadi donatur juga?,” oceh aunty Marry sambil memelukku.
“Ini tante, Rasya ingin melihat-lihat kondisi pasien disini. Dia lagi ada pengamatan gitu tante. Nanti mau keruang psikologis juga, maklum, calon pengusaha,” Kata Janet.
“Well, kamu baik banget Janet nganterin Rasya kesini. Kalian berdua aja? Ya udah, tante titip Rasya ya, tante masih mau nemenin om nih, ada rapat perusahaan. Sudah ya, bye Rasya!,” jawab wanita yang murah senyum itu.
Aku hanya melambaikan tangan dan tersenyum. Aku agak heran juga mendengar jawaban Janet tentang misi utamaku kesini. Bukankah Janet yang ‘memaksaku’ untuk datang ke tempat ini? Tanpa banyak kata, Janet segera membawaku ke ruang yang terletak ditengah tempat rehabilitasi ini. Sebelum Janet mengucapkan kata-kata, aku tahu apa yang harus kulakukan. Melihat kedalam apa isi ruangan itu. Aku kembali terkejut. Ruangan ini terlihat lebih parah dari ruangan sebelumnya. Darah berceceran dilantai, ada pula benda benda tajam di lantai dan pecahan kaca dimana-mana. Ruangan ini terlihat sangat kacau. Beberapa tukang bersih-bersih terlihat kerepotan membersihkan ruangan ini. Kulihat beberapa pasien diikat dengan rantai di tangan dan kaki mereka. Ada dokter yang sedang memberikan suntikan pada pasien. Ada pasien yang meronta-ronta hingga melukai dirinya sendiri, ada pula yang mengerang kesakitan. Namun, masih terlihat perawat yang dengan tulus merawat mereka. Perawat-perawat itu menjaga para pasien dengan sabar. Aku terdiam dan terpaku.
“Sudah bisa menebak ruangan apa ini?,” tanya Janet.
“Ruang yang lebih senior dari ruangan sebelumnya?” tanyaku ragu.
“Ya, benar Bang. Ruangan ini adalah ruangan yang paling senior. Disini pecandu sudah sampai stadium yang sangat berbahaya. Mereka menyakiti diri mereka sendiri demi obat obatan terlarang itu. Bahkan sampai ada beberapa pasien yang meninggal karena tidak diberi barang terlarang itu,” terang Janet.
Aku bergidik ngeri melihat semua itu. Aku membayangkan apabila aku berada disana, aku menyakiti diriku sendiri dengan benda-benda tajam yang mungkin bisa merenggut nyawaku. Kini aku mengerti kenapa Janet membawaku ke tempat ini.
“Kau mau Abang berhenti kan?,” tanyaku pada Janet. Aku pikir pertanyaanku adalah pertanyaan yang sangat bodoh dan tidak memerlukan jawaban.
“Ya Bang. Tapi bukan berhenti demi kami, tapi demi diri Abang sendiri. Abang sudah tahu kan
bagamana akibatnya jika bermain-main dengan obat itu?,” tanya Janet.
“Aku sudah tahu dari awal. Aku selalu memikirkan apa yang aku lakukan,” jawabku.
“Abang pasti tidak ingin membuat tante Cecil, aunty Marry, om James, dan om Marcell...,” Belum sempat Janet menyelesaikan kalimatnya, aku sudah membentaknya.
“Nggak perlu sebut-sebut nama pria berengsek itu lagi!” kataku.
“Oke oke Bang, maaf. Tapi Abang gak mau bikin mereka semua sedih kan? Walaupun Abang benci sama perceraian om dan tante, tapi Abang punya masa depan! Abang gak perlu ngerusak hidup Abang! Lagipula, Abang tahu? Tante Marry adalah donatur terbesar di sini. Apa yang akan tante Marry katakan melihat keponakan yang paling disayanginya, ternyata mendekam disini sebagai pasien?,” kata Janet.
“Hmm, abang pikirkan nanti,” kataku sambil meninggalkan Janet. Aku terenyuh mendengar kata-kata Janet barusan. Janet benar. Tidak seharusnya aku membuat Tuhan kecewa dengan sikapku. Aku berjalan keluar dan meninggalkan Janet yang masih terpaku didalam area rehabilitasi itu. Janet mengerti untuk tidak mengejarku dan diam diposisinya. Janet mengerti aku sedang ingin sendiri.
Aku melihat taman didepan tempat rehabilitasi itu. Aku memilih untuk duduk dibawah pohon rindang yang ada didepan kolam ikan. Aku merenung dan memikirkan apa yang sudah kulakukan selama ini. Terlintas bayangan dimana aku masih kecil, saat aku bermain bersama orangtuaku, lalu bayangan itu berubah menjadi bayangan dimana aku lulus dari Sekolah Menengah Atas yang populer dengan predikat siswa terbaik. Bayangan itu berubah lagi dengan bayangan saat aku pulang dari Sidney yang disambut hangat dengan pelukan dari kedua orangtuaku yang tampak mesra, namun baru sesaat aku menikmati bayangan itu, dengan cepat bayang orangtuaku yang sedang bertengkar dengan hebat muncul. Bayangan bagaimana mamah menangis melihat papah yang tidak memperdulikan mamah. Aku hanya bisa tersenyum kecut melihat bayangan itu. Aku kembali melihat bayangan saat aku mabuk-mabukan, aku hanya menghamburkan uang dengan obat obatan terlarang, saat aku menyuntikkan barang haram itu ditanganku, saat aku berpesta pora dengan teman- temanku, dan saat aku mengalami kecelakaan. Bayangan ibu yang sedang menjagaku dengan lelah, dengan wajahnya yang pucat, kembali melintas dipikiranku. Tanpa terasa, pipiku mulai basah dengan air mata yang menetes. Aku yakin, kali ini aku harus berubah. Aku tidak boleh membuang harapan ibuku yang mempercayai aku untuk menjaga bisnis ibuku. Yang mempercayai aku, anaknya yang tunggal untuk terus berjuang demi ibu dan orang-orang yang kusayangi. Aku tersadar dan mengusap air mata yang menetes dipipiku. Aku berniat memberi tahu Janet tentang ini dan aku harus berterimakasih padanya telah membawaku ke tempat ini. Aku berniat untuk membuat ibuku bangga. Aku berniat untuk menjadi donatur seperti aunty Marry. Beberapa saat kemudian, aku berdiri dan berlari-lari kecil menghampiri Janet. Sakit di kepalaku itu muncul lagi. Kali ini beribu-ribu lebih sakit daripada sebelumnya. Aku merasa tubuhku oleng dan aku tidak ingat apa-apa lagi.
To be continue
“Kapan kau kembali ke Indonesia? Kenapa ke Bali? Kenapa tidak tinggal bersama abangmu ini? Aku kan bisa menjemputmu dibandara..,” Aku memberikan pertanyaan beruntun untuk Janet.
“Kapan kujawab kalau kau terus mengoceh? Untuk pertanyaan pertama, aku kembali baru satu minggu yang lalu. Pertanyaan kedua, aku ke Bali karena aku sudah bosan dengan keadaan sumpek Jakarta. Untuk pertanyaan selanjutnya, aku mau memberimu kejutan. Jelas Bang?,” jawab Janet.
“Hah kau ini, lalu apa ini kejutan? Kita bertemu ditempat yang indah, namun pengalaman yang kualami sama sekali tidak indah. Abang macam apa aku ini, tampak begitu lemah didepan adikku sendiri, dipukuli tanpa perlawanan. Memalukan..,” kataku.
“Kau kan selalu memalukan bang, haha..” canda Janet.
“Dasar kau!! Aduh!,” badanku terasa sangat sakit untuk digerakkan.
“Sudahlah bang. Besok kuantar kau kembali ke hotel, santai saja dulu disini.” Kata Janet sambil memapahku yang berusaha untuk duduk.
Keesokan harinya, dengan perban dikepalaku dan dibantu oleh Janet, aku kembali ke hotel tempat aku menginap. Setelah itu Janet mengajakku untuk berjalan-jalan disekitar pantai. Aku menceritakan pada Janet tentang masalah yang kualami, perceraian orang tuaku, dan juga masalah narkoba yang masih ada di hidupku. Dari raut wajahnya, Janet terlihat kecewa dengan apa yang aku lakukan. Aku tidak heran. Lagipula, mana mungkin ada adik yang bangga dengan keadaan kakaknya yang seorang pecandu?
Hari ini Janet akan membawaku ke sanggar tari miliknya. Ternyata, selama dia berada di Inggris, kementrian disana meminta Janet, yang tercatat sebagai mahasiswi Indonesia untuk mempertunjukkan tari tradisional Bali. Janet terpilih menjadi lulusan terbaik di universitasnya dan kementrian memberikan gelar khusus untuk Janet. Janet juga diberi kewenangan untuk menjadi pelatih tari Indonesia disana dengan bayaran yang tak sedikit. Namun Janet meminta waktu untuk menambah ilmunya tentang tari Indonesia, tari Bali khususnya, di pulau Dewata ini.
Kulihat beberapa gadis Bali dengan pakaian tradisionalnya sedang berlatih bersungguh-sungguh. Merupakan pemandangan yang menarik untuk melihat mereka berlatih memainkan mata, pinggul dan tangannya supaya dapat menghasilkan tarian yang baik. Janet membuyarkan lamunanku, ia meminta ijin padaku bahwa ia ingin memberi beberapa tugas kepada pegawainya. Setelah itu, Janet segera membawaku ke suatu tempat. Dia tidak memberitahuku kemana ia akan membawaku. Bagai terhipnotis, aku mengikuti ajakannya dengan patuh.
Beberapa menit kemudian, mobil Avanza milik Janet memasuki daerah yang cukup tenang, dan cukup terpencil. Kulihat ada beberapa orang berpakaian perawat. Apa ini rumah sakit? Dimana ini? Aku hanya bertanya dalam hati. Keraguanku terjawab saat Janet mengajakku turun dan memasuki tempat itu.
“Ayo bang, turun cepat. Tidak apa,” Kata Janet memberi komando.
“Dimana nih Net? Rumah sakit??,” tanyaku.
“Sudah bang, mari ikut!,” jawab Janet sambil menarik lenganku.
Terlihat beberapa orang berpakaian perawat sedang membawa beberapa jarum suntik dan juga air. Kulihat Janet mengajakku menghampiri tempat resepsionis.
“Maaf, tempat rehab untuk pemakai dimana ya?,” tanya Janet sopan.
Kini pertanyaan di otakku mulai terjawab. Ternyata Janet membawaku ke tempat rehabilitasi. Dengan segera aku menarik tangan Janet untuk keluar menjauhi tempat resepsionis itu. Tapi Janet tetap memegang tanganku dengan erat. Aku diam saja melihat reaksi Janet. Heran, sepertinya dulu aku yang selalu menarikknya dan mengandengnya. Setelah dirasa cukup dengan beberapa pertanyaan yang tentu saja aku abaikan, Janet mengajakku untuk berjalan mengitari sebuah lorong tempat rehabilitasi yang mirip rumah sakit itu. Baunya pun sama dengan rumah sakit, pikirku.
“Nah, Bang, lihat ruangan itu.” Janet menunjuk salah satu ruangan disana.
Kulihat beberapa orang berpakaian rumah sakit dan beberapa perawat. Semua pasien itu terlihat pucat, kurus dan tak bertenaga. Para perawat memberikan mereka minum dan juga obat.
“Kenapa kau suruh abang lihat itu?,” kataku dengan tampang tidak peduli.
“Abang lihat, mereka pecandu juga,tapi masih tahap awal,” Jelas Janet.
“Oh,” jawabku masih tak peduli.
Janet hanya diam mendengar reaksiku yang tidak begitu peduli dengan penjelasannya. Aku merasa ia sudah mulai menguruiku. Namun karena begitu sayang aku padanya, aku memilih untuk menghargainya dan diam saja.
“Bang, liat tuh,” ucap Janet kemudian.
Mataku terarah pada ruangan yang ditunjuk oleh Janet. Masih sama seperti tadi, namun diruangan ini terlihat lebih banyak perawat dan ruangan bertambah liar. Aku lihat darah berceceran dilantai, ada beberapa perawat dan juga dokter kali ini. Para perawat memegang tangan pasien dan dokter berusaha menyuntikkan sesuatu.
“Bang, kalo yang ini, ruangan tempat pecandu yang lebih berat dari yang tadi. Kalo yang tadi itu junior, ini sedikit senior diatasnya,” Jelas Janet.
Aku sedikit bergidik melihatnya. Perawat-perawat itu nampak sudah biasa dengan semua ini. Kuliat pasien-pasien disana tampak lebih liar dari sebelumnya. Ada pula beberapa pasien yang terlihat menggigil, ada yang tampak sangat pucat dengan darah ditangannya yang sudah mulai mengering, ada pula yang kejang-kejang. Namun mereka semua ditangani oleh perawat dan dokter-dokter yang lain. Aku tidak merespon kata-kata Janet. Janet yang melihatku bungkam, memegang tanganku dan mengajakku melihat-lihat ruangan lain. Kulihat sosok wanita mendekati kami. Wajahnya nampak cantik, dan tidak asing. Ternyata perkiraanku benar, aunty Marry. Aunty Marry menatapku dan langsung memelukku.
“Rasya! Wah, kamu kesini juga ya? Ngapain? Mau jadi donatur juga?,” oceh aunty Marry sambil memelukku.
“Ini tante, Rasya ingin melihat-lihat kondisi pasien disini. Dia lagi ada pengamatan gitu tante. Nanti mau keruang psikologis juga, maklum, calon pengusaha,” Kata Janet.
“Well, kamu baik banget Janet nganterin Rasya kesini. Kalian berdua aja? Ya udah, tante titip Rasya ya, tante masih mau nemenin om nih, ada rapat perusahaan. Sudah ya, bye Rasya!,” jawab wanita yang murah senyum itu.
Aku hanya melambaikan tangan dan tersenyum. Aku agak heran juga mendengar jawaban Janet tentang misi utamaku kesini. Bukankah Janet yang ‘memaksaku’ untuk datang ke tempat ini? Tanpa banyak kata, Janet segera membawaku ke ruang yang terletak ditengah tempat rehabilitasi ini. Sebelum Janet mengucapkan kata-kata, aku tahu apa yang harus kulakukan. Melihat kedalam apa isi ruangan itu. Aku kembali terkejut. Ruangan ini terlihat lebih parah dari ruangan sebelumnya. Darah berceceran dilantai, ada pula benda benda tajam di lantai dan pecahan kaca dimana-mana. Ruangan ini terlihat sangat kacau. Beberapa tukang bersih-bersih terlihat kerepotan membersihkan ruangan ini. Kulihat beberapa pasien diikat dengan rantai di tangan dan kaki mereka. Ada dokter yang sedang memberikan suntikan pada pasien. Ada pasien yang meronta-ronta hingga melukai dirinya sendiri, ada pula yang mengerang kesakitan. Namun, masih terlihat perawat yang dengan tulus merawat mereka. Perawat-perawat itu menjaga para pasien dengan sabar. Aku terdiam dan terpaku.
“Sudah bisa menebak ruangan apa ini?,” tanya Janet.
“Ruang yang lebih senior dari ruangan sebelumnya?” tanyaku ragu.
“Ya, benar Bang. Ruangan ini adalah ruangan yang paling senior. Disini pecandu sudah sampai stadium yang sangat berbahaya. Mereka menyakiti diri mereka sendiri demi obat obatan terlarang itu. Bahkan sampai ada beberapa pasien yang meninggal karena tidak diberi barang terlarang itu,” terang Janet.
Aku bergidik ngeri melihat semua itu. Aku membayangkan apabila aku berada disana, aku menyakiti diriku sendiri dengan benda-benda tajam yang mungkin bisa merenggut nyawaku. Kini aku mengerti kenapa Janet membawaku ke tempat ini.
“Kau mau Abang berhenti kan?,” tanyaku pada Janet. Aku pikir pertanyaanku adalah pertanyaan yang sangat bodoh dan tidak memerlukan jawaban.
“Ya Bang. Tapi bukan berhenti demi kami, tapi demi diri Abang sendiri. Abang sudah tahu kan
bagamana akibatnya jika bermain-main dengan obat itu?,” tanya Janet.
“Aku sudah tahu dari awal. Aku selalu memikirkan apa yang aku lakukan,” jawabku.
“Abang pasti tidak ingin membuat tante Cecil, aunty Marry, om James, dan om Marcell...,” Belum sempat Janet menyelesaikan kalimatnya, aku sudah membentaknya.
“Nggak perlu sebut-sebut nama pria berengsek itu lagi!” kataku.
“Oke oke Bang, maaf. Tapi Abang gak mau bikin mereka semua sedih kan? Walaupun Abang benci sama perceraian om dan tante, tapi Abang punya masa depan! Abang gak perlu ngerusak hidup Abang! Lagipula, Abang tahu? Tante Marry adalah donatur terbesar di sini. Apa yang akan tante Marry katakan melihat keponakan yang paling disayanginya, ternyata mendekam disini sebagai pasien?,” kata Janet.
“Hmm, abang pikirkan nanti,” kataku sambil meninggalkan Janet. Aku terenyuh mendengar kata-kata Janet barusan. Janet benar. Tidak seharusnya aku membuat Tuhan kecewa dengan sikapku. Aku berjalan keluar dan meninggalkan Janet yang masih terpaku didalam area rehabilitasi itu. Janet mengerti untuk tidak mengejarku dan diam diposisinya. Janet mengerti aku sedang ingin sendiri.
Aku melihat taman didepan tempat rehabilitasi itu. Aku memilih untuk duduk dibawah pohon rindang yang ada didepan kolam ikan. Aku merenung dan memikirkan apa yang sudah kulakukan selama ini. Terlintas bayangan dimana aku masih kecil, saat aku bermain bersama orangtuaku, lalu bayangan itu berubah menjadi bayangan dimana aku lulus dari Sekolah Menengah Atas yang populer dengan predikat siswa terbaik. Bayangan itu berubah lagi dengan bayangan saat aku pulang dari Sidney yang disambut hangat dengan pelukan dari kedua orangtuaku yang tampak mesra, namun baru sesaat aku menikmati bayangan itu, dengan cepat bayang orangtuaku yang sedang bertengkar dengan hebat muncul. Bayangan bagaimana mamah menangis melihat papah yang tidak memperdulikan mamah. Aku hanya bisa tersenyum kecut melihat bayangan itu. Aku kembali melihat bayangan saat aku mabuk-mabukan, aku hanya menghamburkan uang dengan obat obatan terlarang, saat aku menyuntikkan barang haram itu ditanganku, saat aku berpesta pora dengan teman- temanku, dan saat aku mengalami kecelakaan. Bayangan ibu yang sedang menjagaku dengan lelah, dengan wajahnya yang pucat, kembali melintas dipikiranku. Tanpa terasa, pipiku mulai basah dengan air mata yang menetes. Aku yakin, kali ini aku harus berubah. Aku tidak boleh membuang harapan ibuku yang mempercayai aku untuk menjaga bisnis ibuku. Yang mempercayai aku, anaknya yang tunggal untuk terus berjuang demi ibu dan orang-orang yang kusayangi. Aku tersadar dan mengusap air mata yang menetes dipipiku. Aku berniat memberi tahu Janet tentang ini dan aku harus berterimakasih padanya telah membawaku ke tempat ini. Aku berniat untuk membuat ibuku bangga. Aku berniat untuk menjadi donatur seperti aunty Marry. Beberapa saat kemudian, aku berdiri dan berlari-lari kecil menghampiri Janet. Sakit di kepalaku itu muncul lagi. Kali ini beribu-ribu lebih sakit daripada sebelumnya. Aku merasa tubuhku oleng dan aku tidak ingat apa-apa lagi.
To be continue

Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment
Always need you comment here :')