Apakah Aku Sudah Terlambat? (part 2)
Dengan segera aku melaju ke arah bandara Soekarno-Hatta. Aku tidak terlalu suka dengan bandara di Indonesia. Warganya yang kurang disiplin, fasilitas yang kurang terawat, dan juga pelayanan yang terkadang tanpa senyuman. Namun tanpa terlalu mempedulikan keadaan, segera saja aku memesan tiket ke Bali dengan penerbangan malam ini. Setelah mendapatkan apa yang aku inginkan, aku kembali kedalam mobil ibuku. Aku duduk sejenak untuk meringankan beban hidup yang kualami selama ini dan sakit kepala yang mulai menyerang. Kenapa kemaren gak mati sekalian aja sih, ujarku. Aku sering kali menyesali hidupku dan terlintas ide untuk mengakhiri hidupku. Contohnya tadi malam. Aku tau aku mabuk berat, namun aku masih saja ingin mengantar diriku pada kematian. Tapi, seperti saat ini, Tuhan masih berkehendak lain dan memberiku kehidupan. Setelah merasakan sakit dikepalaku mulai memudar, aku segera pulang ke rumah.
Dirumah, mobil Radit sudah tak terlihat. Radit pasti sudah berangkat bekerja. Dengan malas aku kembali ke kamarku dengan shabu yang kumiliki. Segera saja obat-obat terlarang itu membawaku tidur, dengan sangat lelap. Pada saat aku terbangun, jam sudah menunjukan pukul 7 malam. Dengan berat hati aku melangkah untuk merapikan pakaianku untuk berlibur, dan segera saja kubuang bungkus shabu yang sudah habis kunikmati. Aku menyempatkan diri untuk mampir ke swalayan didekat rumaku. Aku membeli beberapa perlengkapan dan beberapa minuman bersoda, serta makanan ringan disana. Kuacuhkan tatapan heran yang mengamatiku selama aku berbelanja. Tentu saja aku menjadi pusat perhatian dengan dandananku. Baju kumal, celana belel, dan juga sepatu kets kesayanganku. Aku lebih terlihat seperti gelandangan daripada mahasiswa lulusan luar negeri. Setelah selesai dengan barang-barang belanjaan, aku segera melajukan mobilku ke arah Bandara Soekarno-Hatta untuk segera berangkat. Dan tak lupa aku memakan permen yang kubeli untuk menghilangkan bau mulut. Aku takut saja jika aku sampai ketahuan bahwa aku memakai obat terlarang.
Ternyata perkiraanku benar, sepuluh menit lagi pesawat akan segera berangkat. Segera kubawa tas koper dan tas ransel milikku. Aku sengaja memesan dua tempat duduk. Seperti yang kukatakan, uang bukan masalah untukku selama aku bisa menerima apa yang kuinginkan. Perjalananpun terasa sangat melelahkan dan menjemukan. Aku berusaha untuk menghilangkan kejemuan dengan mendengarkan musik dan membaca buku. Walaupun aku anak yang nakal, tapi aku suka dengan pengetahuan. Mataku terasa sangat berat dan akupun tertidur. Saat aku terbangun, aku sudah sampai di Bali. Kira kira pada pukul tiga pagi.
Sesampainya di Bali, segera saja aku memesan kamar di hotel langgananku. Aku memesan ruangan yang paling mahal disana. Untuk melepaskan penat, aku berjalan jalan didaerah pantai didekat hotel. Dan dari sinilah ceritaku dimulai. Ada sekelompok pria menghampiriku dan menempelkan pisau ke arah leherku, mereka meminta uang kepadaku. Namun semua yang kumiliki kutinggalkan di hotel. Aku hanya membawa uang sebesar 200ribu pada saat itu. Kuberikan yang kumiliki, karena aku lebih menyayangi nyawaku. Namun mereka masih merasa tidak puas, dengan segera mereka memukuli aku dan menghantam perutku dengan kerasnya. Aku yang masih belum terlalu pulihpun tidak bisa melakukan perlawanan. Mereka menghantamkan botol bir ke arah kepalaku. Setelah itu, aku tidak bisa melakukan apapun, tapi aku masih sempat mendengar langkah kaki mereka yang terdengar semakin menjauh. Dari kejauhan terdengar pula suara beberapa orang yang berteriak histeris, salah satu diantara mereka ada yang menyebutkan namaku. Aku tak tahu apakah dia mengenalku, tapi dari yang kurasakan, beberapa orang segera mengangkat tubuhku dan membawaku ketempat yang lebih pantas.
Saat aku membuka mataku, semuanya terlihat sangat asing. Ada sesosok wanita yang memegang tanganku. Wajahnya terlihat sangat khawatir. Ibu? Kurasa bukan. Wajahnya tampak masih sangat muda. Seusiaku, mungkin. Ternyata apa yang kugumamkan itu benar. Sosok wanita itu, Janet, teman masa kecilku. Ia terlihat mengenakan pakaian wanita khas Bali. Bagaimana bisa? Ternyata dunia tak selebar yang kubayangkan. Janet melihatku yang mulai mencoba membuka mata, dan aku berusaha untuk memapah tubuhku, namun Janet melarangku dan membimbingku untuk kembali berbaring.
“Sudahlah Rasya, jangan mencoba untuk bangun dan berpura-pura bahwa kau sudah pulih. Tadi dokter sudah bilang padaku untuk tetap menjagamu supaya kau tidak pergi kemana mana,” Suara gadis itu terngiang dikepalaku. Dia benar, aku masih terlalu lemah untuk mencoba berpura-pura kuat seakan tidak ada hal buruk yang terjadi padaku. Aku tidak dapat memberikan perlawan pada kata-kata Janet. Aku hanya terdiam dan menunggunya untuk berbicara lebih jauh.
“Kau mabuk lagi? Kau pakai narkoba juga ya sekarang? Sudah hebat kau rupanya,” Kata Janet dengan wajah datar.
“Hmm, menurutmu apakah aku terlihat lebih baik? Aku bingung, aku tidak memiliki siapa-siapa. Keluargaku juga hancur,” kilahku.
“Kau anggap aku ini apa? Pajangan? Seperti teman-temanmu yang hanya menemani kau saat engkau senang?,” Jawab Janet.
“Tidak, maksudku bukan begitu, kau salah mengerti....,” sambungku.
“Selalu salah aku ini dimatamu? Begitukan? Selalu saja masih egois kau rupanya,” Kata Janet.
“Aduh, bukan begitu Net.. Ah sudahlah, lupakan saja ucapanku tadi,” aku tidak tahan lagi untuk menjawab kata kata pedas Janet.
“Kau ini selalu saja menghindari masalahmu. Kapan kau akan berubah untuk lebih dewasa? Kau tau aku selalu ada untuk menemanimu kan?,” kata Janet.
“Selalu ada? Apa aku tidak salah dengar Net? Kemana kau dua tahun ini?,” aku mulai mencoba untuk beradu kata dengannya.
“Kau tau kan apa yang aku lakukan? Aku ada di Inggris. Dan untuk belajar, bukan bermain-main!” kata Janet.
To be continue
Dirumah, mobil Radit sudah tak terlihat. Radit pasti sudah berangkat bekerja. Dengan malas aku kembali ke kamarku dengan shabu yang kumiliki. Segera saja obat-obat terlarang itu membawaku tidur, dengan sangat lelap. Pada saat aku terbangun, jam sudah menunjukan pukul 7 malam. Dengan berat hati aku melangkah untuk merapikan pakaianku untuk berlibur, dan segera saja kubuang bungkus shabu yang sudah habis kunikmati. Aku menyempatkan diri untuk mampir ke swalayan didekat rumaku. Aku membeli beberapa perlengkapan dan beberapa minuman bersoda, serta makanan ringan disana. Kuacuhkan tatapan heran yang mengamatiku selama aku berbelanja. Tentu saja aku menjadi pusat perhatian dengan dandananku. Baju kumal, celana belel, dan juga sepatu kets kesayanganku. Aku lebih terlihat seperti gelandangan daripada mahasiswa lulusan luar negeri. Setelah selesai dengan barang-barang belanjaan, aku segera melajukan mobilku ke arah Bandara Soekarno-Hatta untuk segera berangkat. Dan tak lupa aku memakan permen yang kubeli untuk menghilangkan bau mulut. Aku takut saja jika aku sampai ketahuan bahwa aku memakai obat terlarang.
Ternyata perkiraanku benar, sepuluh menit lagi pesawat akan segera berangkat. Segera kubawa tas koper dan tas ransel milikku. Aku sengaja memesan dua tempat duduk. Seperti yang kukatakan, uang bukan masalah untukku selama aku bisa menerima apa yang kuinginkan. Perjalananpun terasa sangat melelahkan dan menjemukan. Aku berusaha untuk menghilangkan kejemuan dengan mendengarkan musik dan membaca buku. Walaupun aku anak yang nakal, tapi aku suka dengan pengetahuan. Mataku terasa sangat berat dan akupun tertidur. Saat aku terbangun, aku sudah sampai di Bali. Kira kira pada pukul tiga pagi.
Sesampainya di Bali, segera saja aku memesan kamar di hotel langgananku. Aku memesan ruangan yang paling mahal disana. Untuk melepaskan penat, aku berjalan jalan didaerah pantai didekat hotel. Dan dari sinilah ceritaku dimulai. Ada sekelompok pria menghampiriku dan menempelkan pisau ke arah leherku, mereka meminta uang kepadaku. Namun semua yang kumiliki kutinggalkan di hotel. Aku hanya membawa uang sebesar 200ribu pada saat itu. Kuberikan yang kumiliki, karena aku lebih menyayangi nyawaku. Namun mereka masih merasa tidak puas, dengan segera mereka memukuli aku dan menghantam perutku dengan kerasnya. Aku yang masih belum terlalu pulihpun tidak bisa melakukan perlawanan. Mereka menghantamkan botol bir ke arah kepalaku. Setelah itu, aku tidak bisa melakukan apapun, tapi aku masih sempat mendengar langkah kaki mereka yang terdengar semakin menjauh. Dari kejauhan terdengar pula suara beberapa orang yang berteriak histeris, salah satu diantara mereka ada yang menyebutkan namaku. Aku tak tahu apakah dia mengenalku, tapi dari yang kurasakan, beberapa orang segera mengangkat tubuhku dan membawaku ketempat yang lebih pantas.
Saat aku membuka mataku, semuanya terlihat sangat asing. Ada sesosok wanita yang memegang tanganku. Wajahnya terlihat sangat khawatir. Ibu? Kurasa bukan. Wajahnya tampak masih sangat muda. Seusiaku, mungkin. Ternyata apa yang kugumamkan itu benar. Sosok wanita itu, Janet, teman masa kecilku. Ia terlihat mengenakan pakaian wanita khas Bali. Bagaimana bisa? Ternyata dunia tak selebar yang kubayangkan. Janet melihatku yang mulai mencoba membuka mata, dan aku berusaha untuk memapah tubuhku, namun Janet melarangku dan membimbingku untuk kembali berbaring.
“Sudahlah Rasya, jangan mencoba untuk bangun dan berpura-pura bahwa kau sudah pulih. Tadi dokter sudah bilang padaku untuk tetap menjagamu supaya kau tidak pergi kemana mana,” Suara gadis itu terngiang dikepalaku. Dia benar, aku masih terlalu lemah untuk mencoba berpura-pura kuat seakan tidak ada hal buruk yang terjadi padaku. Aku tidak dapat memberikan perlawan pada kata-kata Janet. Aku hanya terdiam dan menunggunya untuk berbicara lebih jauh.
“Kau mabuk lagi? Kau pakai narkoba juga ya sekarang? Sudah hebat kau rupanya,” Kata Janet dengan wajah datar.
“Hmm, menurutmu apakah aku terlihat lebih baik? Aku bingung, aku tidak memiliki siapa-siapa. Keluargaku juga hancur,” kilahku.
“Kau anggap aku ini apa? Pajangan? Seperti teman-temanmu yang hanya menemani kau saat engkau senang?,” Jawab Janet.
“Tidak, maksudku bukan begitu, kau salah mengerti....,” sambungku.
“Selalu salah aku ini dimatamu? Begitukan? Selalu saja masih egois kau rupanya,” Kata Janet.
“Aduh, bukan begitu Net.. Ah sudahlah, lupakan saja ucapanku tadi,” aku tidak tahan lagi untuk menjawab kata kata pedas Janet.
“Kau ini selalu saja menghindari masalahmu. Kapan kau akan berubah untuk lebih dewasa? Kau tau aku selalu ada untuk menemanimu kan?,” kata Janet.
“Selalu ada? Apa aku tidak salah dengar Net? Kemana kau dua tahun ini?,” aku mulai mencoba untuk beradu kata dengannya.
“Kau tau kan apa yang aku lakukan? Aku ada di Inggris. Dan untuk belajar, bukan bermain-main!” kata Janet.
To be continue

Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment
Always need you comment here :')